Ketertarikan Suroto, warga Desa Sumberngepoh,
Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur menekuni padi organik bermula
pada 1999, saat harga pupuk (kimia) melambung tinggi dan tidak terjangkau
petani kecil. Dari situ kesadaran Suroto bangkit untuk mencoba mengembangkan
pertanian organik tanpa butuh pupuk kimia.
"Saya berpikir bahwa orang zaman dulu dalam
bertani tanpa menggunakan pupuk kimia dan panennya padi melimpah. Buktinya
beras pada zaman Kerajaan Majapahit menjadi komoditas penting hingga dikirim ke
luar Jawa," ujarnya.
Semangat kembali ke alam itu lantas ditindaklanjuti
Suroto dengan menggali informasi dari sesepuh desa tentang kearifan lokal dalam
mengolah lahan. "Sawah itu sudah membawa pupuk sendiri. Contohnya damen
(jerami) harus dikembalikan ke sawah," ujar Suroto menirukan saran dari
sesepuh desa.
Petuah selanjutnya, pemilik sawah harus memiliki
rojo koyo (hewan ternak berupa sapi, kerbau atau kambing). Sebab kotoran rojo
koyo tersebut bisa dimanfaatkan untuk pupuk organik.
Penjelasan sesepuh desa tersebut dijadikan Suroto
sebagai bahan masukan yang sangat berharga. Tidak cukup dari situ, Suroto
mencari informasi tambahan dengan mengikuti berbagai kepelatihan pengelolaan
lahan ramah lingkungan yang diselenggarakan lembaga swasta maupun Pemerintah
Kabupaten Malang.
Setelah semua informasi dipadukan, ia mengajak empat
rekannya, yakni Sutarji, Buang, Supi'i, dan Mistono untuk memulai pertanian
organik di sawah masing-masing. Pertanian organik akhirnya diterapkan lima
petani yang memiliki lahan di lereng bukit atau kawasan paling atas di desa itu
seluas 5 ha.
Mengawali sesuatu yang tidak lazim memang tidaklah
mudah. Panen padi pertama kali yang dilakukan Suroto dan kelompoknya lewat
metode pertanian organik hasilnya masih jeblok.
Sawah seluas 1,7 ha miliknya hanya menghasilkan 2,4
ton gabah. Padahal hasil panen sawah yang digarap dengan metode nonorganik bisa
mencapai 7-9 ton.
Saat melihat kenyataan itu, Suroto tidak lantas
putus asa. Musim tanam selanjutnya dia tetap menerapkan metode organik. Dan
hasil panen yang kurang optimal itu dia sempat rasakan sampai tujuh kali musim
tanam pada 1999-2003.
"Awalnya saya gagal. Banyak warga mencibir dan
mencemooh. Mereka mengatakan bahwa saya petani bandel karena mengolah sawah
tidak mau keluar modal," kenangnya.
Cibiran dan cemoohan tersebut tidak lantas membuat
Suroto minder. Ia terus belajar untuk menimba teknik pertanian tradisional.
Selain ingin membuktikan kepada teman seprofesinya
bahwa metode organik lebih berwawasan lingkungan dan hasilnya lebih bagus daripada
nonorganik, Suroto punya tujuan agar petani di desanya bisa melepaskan diri
dari belenggu ketergantungan pupuk kimia.
Hingga akhirnya memasuki 2003, sawah yang digarap
Suroto sukses menghasilkan 9 ton gabah. Suroto semakin optimistis bahwa
pertanian ramah lingkungan sangat efektif sekaligus menguntungkan.
Pasalnya hasil panen padi organik setelah dijual
dalam bentuk beras langsung terserap pasar. Selain itu, karena pamor beras
organik yang semakin tinggi, harganya di pasaran jauh lebih bagus jika dibandingkan
dengan padi nonorganik.
Ia mengisahkan, pada 2003 harga beras organik
Rp3.600 per kg. Terus mengalami kenaikan harga sejak mahasiswa dan dosen
Universitas Brawijaya, Malang, datang ke Desa Sumberngepoh untuk praktik kerja
lapangan. Waktu itu, beras organik hasil panen Suroto terserap dengan harga
Rp3.800 per kg. "Para dosen di Unibraw sekarang menjadi pelanggan tetap
beras organik," ujarnya. Bahkan saat ini harga beras organik di pasaran
bisa mencapai lebih Rp11 ribu per kg.
Keberhasilan Suroto mengembangkan padi organik itu
pada akhirnya mendapat perhatian petani lainnya yang sebelumnya bersikap
mencemooh. Hal tersebut dimanfaatkan Suroto untuk melakukan sosialisasi lewat
pertemuan-pertemuan arisan antarpetani.
"Dari sinilah petani di Desa Sumberngepoh mulai
tertarik dan yang mengembangkan pertanian organik bertambah dari lima orang
menjadi 10 orang dengan total lahan seluas 11 ha. Jumlah petani organik di desa
kami terus bertambah," ujarnya.
Manfaat lain, pertanian organik yang dirintis Suroto
tersebut juga mengundang perhatian berbagai pihak. Bahkan sudah ada mahasiswa
asal Jerman yang melakukan penelitian di Desa Sumberngepoh.
sumber: mediaindonesia.com