Petani konvensional di tanah Sunda
umumnya mengenal falsafah ”kadenge, kadeuleu, karampa, karasa” atau mendengar,
melihat, meraba, dan merasakan. Bagi Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin, falsafah yang
dianut oleh para petani tradisional tersebut menjadi hambatan serius ketika dia
ingin mengajak mereka untuk bertani organik.
Para petani konvensional harus
mendengar, melihat, dan meraba dulu baru mereka percaya terhadap teknologi baru
dalam bertani. Susahnya minta ampun untuk meyakinkan petani konvensional bahwa
bertani organik dengan cara budidaya baru itu merupakan cara terbaik guna
meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Ujang, ayah dua anak ini.
Kegelisahan Ujang terhadap nasib petani
di desanya, Jambenenenggang, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat, mulai muncul sekitar akhir tahun 2000. Ketika itu Ujang baru kembali
dari Jepang, setelah bekerja di sebuah pabrik sejak tahun 1997.
Ketika di Jepang, setiap akhir pekan
Ujang menyempatkan diri magang di sebuah sentra pertanian. Ini bisa dia lakukan
dengan rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi.
Di sini dia melihat pertanian yang sudah sistematis dikerjakan mesin. Petani di
Jepang hanya menjadi operator sejak membajak sawah, menyemai, menanam, hingga memanen.
”Produktivitas lahan mereka tinggi, mencapai 11 ton per hektar waktu itu,”
ceritanya.
Pulang ke Indonesia, Ujang membuang
mimpinya untuk melihat petani di kampungnya mengoperasikan mesin di sawah.
Namun, muncul keyakinannya bahwa petani bisa meningkatkan taraf hidup jika
mereka mau. ”Dari teknologi, jelas kita ketinggalan (dari Jepang). Tapi, kalau
petani mau mengubah pola bertaninya, saya yakin mereka bisa meningkatkan taraf
hidup,” kata Ujang.
Petani miskin
Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Syamsul
Ullum Sukabumi itu mendapati petani di sekitarnya sebagai petani miskin yang
penghasilannya amat kecil. ”Di lahan seluas 1 hektar, petani penyewa hanya
mendapat pemasukan sebesar Rp 2 juta selama satu musim, atau sekitar Rp 500.000
per bulan,” kata Ujang.
Penghasilan itu dihitung dari ongkos
produksi, mulai dari pupuk dan pengolahan lahan sebesar Rp 2,2 juta per hektar
serta sewa lahan Rp 7 juta per hektar per musim.
Hasil panen mereka hanya 5,6 ton per
hektar dan dijual dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, panen
semusim hanya memberi hasil Rp 11,2 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi dan
sewa lahan, petani hanya memperoleh Rp 2 juta per musim. ”Kami mengenal
istilah, petani hanya timbul daki setelah bertani karena mereka memang tidak
mendapat apa-apa,” kata Ujang.
Dengan falsafah yang dianut oleh para
petani konvensional itu, dia harus memulai lebih dulu bagaimana bertani organik
dan budidaya yang baik hingga bisa memberikan keuntungan.
Ketika memulai cara bertani organik,
banyak petani konvensional yang mencemooh Ujang. Apalagi, dia masih termasuk
”anak kemarin sore” di kampung Kebonpedes. ”Banyak petani yang mengatakan bahwa
mereka lebih dulu bertani daripada saya, jadi tentunya merasa lebih tahu. Saya
diam saja, tetapi tetap yakin ketika melihat hasilnya, mereka akan percaya,”
katanya.
Ujang kemudian memulainya dengan
mengganti pupuk pabrik dengan pupuk kompos dari tumbuh-tumbuhan hijau dan
granole (pupuk dari kotoran hewan yang dicampur dengan dekomposer). Ujang
memerlukan waktu tiga musim untuk mengakhiri penggunaan pupuk pabrik karena
kondisi tanah belum terbiasa.
Dia memproduksi sendiri granole dengan
maksud agar tak bergantung pada pihak mana pun. Dia mendapatkan kotoran hewan
dari warga yang beternak sapi dan para tetangga yang memiliki kambing dan ayam.
Apabila menggunakan kompos, sawah seluas
1 hektar memerlukan sekitar 5-7 ton. Adapun dengan granole, sawah luas yang
sama hanya memerlukan 500 kilogram sampai 1 ton. Kebutuhan ini tergantung dari
kondisi keasaman tanah.
Beralih ke organik
Selain beralih ke pertanian organik,
Ujang juga memulai budidaya bertani yang baru, yakni dengan mengurangi
penggunaan benih padi.
”Petani konvensional biasanya
menggunakan hingga delapan bibit dalam satu lubang. Ketika tumbuh, maksimal
hanya 18 anakan yang jadi karena bibit sulit tumbuh,” katanya.
Adapun cara yang dilakukan Ujang adalah
dengan menggunakan satu-dua bibit saja per lubang. Ternyata setelah tumbuh,
tanaman itu bisa menghasilkan 25 anakan per lubang.
Dengan cara itu, dia hanya memerlukan paling
banyak 8 kilogram benih per hektar. Bandingkan dengan petani konvensional yang
memerlukan benih sampai 35 kilogram per hektar.
Masih belum puas, Ujang berusaha
menambah pengetahuan bertaninya dengan mengikuti Sekolah Lapangan Pengelola
Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kebonpedes. Terbukti, Ujang bisa mendongkrak
produktivitas tanaman padinya menjadi 8 ton lebih per hektar.
Adapun ongkos produksi yang diperlukan
Ujang untuk mengolah 1 hektar lahan hanya Rp 2,1 juta. Ditambah sewa lahan Rp 7
juta, dia hanya menghabiskan biaya sebanyak Rp 9,1 juta. Namun, hasil panen dan
harganya bisa naik signifikan.
Dengan hasil panen padi organik pada
musim terakhir sebanyak 8,82 ton per hektar dan harga gabah basah Rp 2.400 per
kilogram, Ujang memperoleh penghasilan Rp 21,168 juta. Jumlah itu, setelah
dikurangi modal kerja, masih bersisa Rp 12,068 juta dalam semusim, atau Rp 3
juta per bulan.
Melihat keberhasilan Ujang, puluhan
petani konvensional dan pemuda pengangguran di Kebonpedes mulai tertarik
menekuni pertanian organik. Dalam satu musim terakhir, delapan kelompok tani
setempat meminta Ujang mendampingi mereka mempraktikkan cara bertani organik.
Setiap kelompok tani itu mempunyai anggota 20-25 petani.
Seiring dengan makin banyaknya petani
konvensional yang menerapkan pertanian organik dan cara budidaya baru itu,
Ujang yakin petani di Kebonpedes akan mandiri. ”Apa lagi yang mau dibantah?
Pupuk sudah bisa kami produksi sendiri dan harga gabah padi organik juga jauh
di atas harga padi nonorganik. Kalau ada kemauan, sebenarnya tidak sulit
menjadi petani mandiri,” kata Ujang.(Oleh: Agustinus Handoko)