Menanam padi organik kini bukan lagi impian bagi
petani di seluruh Indonesia. Karena menanam pada secara organik, tidak hanya
dapat meningkatkan produksinya hingga dua kali lipat dibanding cara tanam yang
menggunakan pupuk kimia. Tapi juga membuat lingkungan di sekitarnya menjadi
sehat. Karena tidak tercampur oleh pupuk kimiawi atau pestisida yang jelas
merusak lingkungan.
Padi organik yang kini tengah dikembangkan menggunakan
cara System of Rice Intensification (SRI). Beras organik hasilnya pulen dan
bisa tahan tiga hari. Produksinya juga bisa dua kali lipat dibanding sistem
tanam konvensional dimana padi SRI Organik ini menghasilkan 8-9 ton per hektar.
Sedangkan sistem konvensional hanya 4-5 ton per hektar.
Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merekomendasikan agar padi SRI ini dikembangkan di seluruh Indonesia. Hal itu diungkapkan saat panen raya padi di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jabar tahun lalu.
Pola SRI Organik pertama kali dikenalkan tahun 1999
yaitu cara bertanam padi tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia.
Pupuk yang digunakan berasal dari jerami, limbah geraji, sekam, pohon pisang,
pupuk kandang yang diolah untuk pupuk tanahnya. Pupuk yang dipakai jumlahnya
bisa dipangkas menjadi separuhnya. Bahkan, 2-3 tahun kemudian, kebutuhan pupuk
kimia akan menjadi nol. Pupuk kompos ini kaya mikroorganisme yang dibutuhkan
untuk menyuburkan tanah, sekaligus menjaga kesehatan tanaman sehingga lebih
tahan terhadap serangan hama.
Lalu, bibit yang disemai tidak lagi 20 hari, melainkan
tujuh hari tempat persemaian sederhana seperti memanfaatkan pipiti (besek
kecil). Pola SRI juga hanya membutuhkan benih sebanyak 7 kg/ha. Angka ini jauh
lebih rendah dibanding sistem konvensional yang menggunakan benih sebanyak 30
kg/ha. Berbeda dengan sistem biasa yang memindahkan bibit padi pada umur 25
hari, pada sistem SRI, bibit padi berumur 7-10 hari sudah dipindahkan ke petak
sawah yang sudah ditebari pupuk organik. Satu lubang ditanami satu batang,
tidak sekaligus lima batang seperti biasanya. Jarak antar-lubang pada sistem
SRI 30 sentimeter (cm), bukan 15-20 cm.
Sistem SRI juga tidak membutuhkan air yang banyak.
Karena yang dibutuhkan agar sawah tetap basah dengan pemberian air
terputus-putus. Efisiensi air yang bisa dihemat dengan pola SRI mencapai 30 –
50 persen dari sistem konvensional. Penghematan terlihat dari sedikitnya air
yang dibutuhkan pada saat; penyiapan lahan tanam, dan persemaian. Didukung
Pemerintah Pengembangan padi SRI harus didukung berbagai pihak. Perusahaan yang
sudah melakukannya adalah Medco Foundation, Dewan Pemerhati Kehutanan dan
Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) dan Yayasan Aliksa Organik SRI. Ketiga
organisasi ini ingin membangun pertanian yang baik, berkelanjutan, dan ramah
lingkungan serta mendatangkan keuntungan bagi rakyat Indonesia. Setelah
berhasil melakukan uji coba penanaman SRI di lahan 7,5 hektar, Medco Foundation
berniat akan memperluas lahan penanaman SRI, konsep kemitraan dengan petani dan
perbankan di lahan 10.000 hektar dengan anggaran Rp 100 miliar.
Kini pola SRI Organik tidak hanya diterapkan di
Cianjur, Ciamis, tapi juga telah dilaksanakan di 8 propinsi yang tersebar di
Pulau Bali, Nusatenggara, dan Sulawesi. Tercatat sebanyak 7.200 anggota petani
yang menjalankan kelompok pola SRI. Di Sumbar metode padi tanam sebatang ini
sudah dicanangkan sebagai gerakan pada 13 September 2006 lalu. Tahun 2007 ini,
setiap kecamatan (157 kecamatan di Sumbar) sudah menargetkan minimal 5 hektar
untuk menerapkan metoda padi tanam sebatang. Bila tahun 2006 lalu hanya delapan
kabupaten/kota yang laksanakan metode SRI, pada tahun 2007 sudah 18 kabupaten.
Hasil ujicoba yang ditanganinya di Ciamis,
Tasikmalaya, Sukabumi menunjukkan hasil panen diatas rata-rata 8 ton/hektar.
Hasil panenan ini benar-benar membanggakan petani organik. Bila umumnya petani
harus mengeluarkan biaya rata-rata Rp 800.000 per hektar/musim tanam untuk
membeli pupuk, bibit, dan pestisida, kini tidak lagi. Pada sistem organik
pengeluaran hanya untuk bibit, bahan pembuatan pupuk, dan biaya tenaga. Total
sekitar Rp 300.000 per hektar.
Harga lima kilogram beras organik Rp 20.000 sedangkan
beras non-organik Rp 10.000. Maka selisih untung dari hasil panen dengan sistem
SRI mencapai Rp 2 juta lebih, untuk setiap hektar, dibanding dengan pola
konvensional. Di Singapura, harga beras organik ini sudah mencapai Rp50 ribu
per kg. Melihat pola SRI Organik ini memiliki berbagai unggulan seperti
menghemat biaya produksi (biaya bibit dan pemakaian air), ramah lingkungan
karena tidak ada pemakaian toksin dan sintetis, serta memiliki produktivitas
tinggi, maka Presiden pun menginstruksikan agar pola ini diterapkan di tanah
air. “Saya berharap kepada seluruh warga Indonesia untuk selalu mendayagunakan
penuh padi-padi SRI agar semuanya berjalan dengan baik dan tidak merusak
lingkungan,” katanya.
Presiden pun menuturkan pembangunan pertanian di
Indonesia harus bergeser dari green revolution menjadi sustainable agriculture
revolution. “Padi SRI adalah contoh nyata pembangunan pertanian berkelanjutan
sebagai koreksi dari green revolution yang ternyata merusak lingkungan karena
menggunakan pupuk yang menggunakan bahan-bahan kimia sehingga merusak struktur
tanah di kemudian hari,” jelas SBY.
Untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik,
pemerintah memfasilitasi petani dengan memberikan pelatihan kepada petani SRI
yang tersebar di 14 provinsi untuk menggunakan alat pengolah sampah organik.
Tak perlu impor
Pakar pertanian asal Universitas Padjadjaran (Unpad),
Prof. Dr. Entun Santosa mengemukakan, Indonesia tidak perlu mengimpor beras
lagi, jika sistem intensifikasi padi SRI dikembangkan. Dengan pola SRI, lahan
seluas 500 ribu ha/tahun, bisa menghasilkan beras minimal empat juta ton/tahun.
Dengan pola SRI pula diharapkan target swasembada padi
tahun 2008 sebesar 61,1 juta ton tercapai. Dengan produksi sebesar itu, bisa
menutup kekurangan stok beras nasional yang dibutuhkan. “Jika sekarang ini bisa
dimulai, maka saya optimis tahun 2007, SRI akan mampu memenuhi kekurangan stok
beras secara nasional,” kata Entun Santosa dalam sebuah Semiloka tentang
pertanian di Bandung.
Pada semiloka SRI yang diikuti oleh 19 kelompok tani
dari beberapa kecamatan di Kab. Ciamis ini, terungkap bahwa dengan pola SRI,
rata-rata telah menghasilkan gabah kering untuk setiap panen 10 hingga 12
ton/ha. Padahal sebelumnya dengan menggunakan pupuk kimia, produksi hanya 4,5
ton/ha. Menurut Ketua Kelompok Studi Petani Tirta Mukti, Endin, hasil panen
gabah SRI di daerahnya pernah mencapai 13 ton/ha. Lalu, rata-rata sekarang ini
10 ton/ha. Petani dengan sendirinya mendapatkan keuntungan untuk setiap ha
lebih dari Rp 4,5 juta. Dengan adanya SRI ini, kata Endin ada kegairahan yang
dirasakan petani untuk cocok tanaman padi. Karena hasil jerih payahnya menanam
padi SRI ini hasilnya cukup besar.
Sekarang kita tinggal tunggu, apakah Provinsi Banten
akan mempelopori penanaman padi SRI ini untuk digunakan para petani. Bila hal
ini terwujud, bukan hanya produksi padi akan meningkat. Tapi juga kualitas
lingkungan di Banten akan semakin baik.